Tampak dari depan
Teras Lantai II
Pagar berdinding ekspose batu bata merah
mengelilingi kompleks tempat tinggal milik Ketua Ketua Gabungan Pengusaha
Konstruksi Indonesia (Gapkindo) Jateng, Mukafi Fadli. Kompleks seluas 1.600 m2
tersebut terletak di Jl Sadewa No 6, RT 002 RW 001, Jetis Mojo Wetan, Sragen
Kulon, Sragen. Tiga buah bangunan megah didominasi arsitektur jawa berdiri
megah dengan fungsi yang berbeda.
Tiga bangunan itu terdiri atas bangunan baru
berlantai II terletak paling timur sebagai tempat tinggal. Bangunan limasan
berada di tengah sebagai tempat usaha dan kantor. Terakhir bangunan baru
berbentuk joglo dengan dinding serba gebyok
berada paling barat sebagai Sekretariat Forum Masyarakat Sragen (Formas).
Semua bangunan itu menghadap ke selatan dan hanya dibatasi dinding tembok.
“Saya dulu membeli tanah beserta rumah pada
2007. Saya tetap mempertahankan rumah lama yang terletak antara dua bangunan
baru. Saat itu kebetulan harganya relatif miring, hanya Rp150.000/m2. Padahal
sekarang harganya mencapai Rp700.000/m2,” ujar Lilik sapaan akrab Mukafi Fadli
saat dijumpai Espos, Selasa (13/11),
di kediamannya.
Lilik beli tanah dengan harga murah itu lantaran
doa setiap hari. Sebagai penggemar filosofi dan pengamat arsitektur Jawa, Lilik
mendirikan rumah dengan gaya Jawa. Rumah kuno asal Ngawi, Jawa Timur berumur
100 tahun diboyong ke kediamannya. Rumah dengan dinding gebyok itu kini menjadi rumah joglo yang diperuntukkan sebagai
sekretariat Formas.
“Saya beli gebyok
tua dengan ornamen garuda senilai Rp40 juta. Saya tertarik dengan nilai
nasionalisme pada gebyok itu.
Sedangkan gebyok lainnya nilainya
cukup murah. Kemudian untuk pendapa semua dari kayu jatin kebon. Mulai dari
reng dan usuknya, hanya habis Rp70 juta. Bangunan itu memang saya desain
sebagai ruang publik untuk Formas,” ujar Lilik yang juga aktivis Formas.
Satu tahun kemudian, Lilik yang juga Ketua DPC
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sragen itu membikin rumah berlantai II. Rumah
yang kini menjadi tempat tinggal keluarga Lilik itu cukup unik. Rumah ini
merupakan kombinasi gaya jawa kuno, kudus, madura dan mediterania. Ide
penggabungan gaya bangunan itu diperoleh setelah berlangganan majalah rumah
selam lima tahun.
Bantalan
Jembatan
“Semua gaya itu dipadukan tanpa gambar dan
desain khusus. Tetapi mengalir selama proses pembangunan yang memakan waktu
delapan bulan. Selama proses itu, saya tak pernah membongkar total,” jelas ayah
dari dua anak itu.
Hampir semua material kusen pintu dan jendela
menggunakan kayu bekas bantalan jembatan yang usianya puluhan tahun. Kayu
bantalan jembatan itu dibeli Lilik dengan harga Rp20 juta. Rumah seluas 250 m2
itu terdiri atas lantai I untuk ruang tamu, kamar pembantu dan dapur dan lantai
II dengan satu kamar utama dan dua kamar anak.
Kusen pintu utama di teras depan, di ruang tamu,
teras samping menggunakan ukiran gaya kudus. Ukiran gebyok jati asal Jepara juga dimanfaatkannya untuk hiasan di lantai
II. “Saya menggunakan sistem manajemen tukang cukur. Ketika dilihat pas dan
indah ya terus. Kalau tidak pas yang dibenahi agar sesuai keinginan saya,”
jelasnya.
Pintu tiga kamar di lantai II dibuat dengan
memanfaatkan kayu bekas bangunan terbakar saat kerusuhan Mei 1998 di Solo. Kayu-kayu
itu dibeli di pasar antik Solo, yang kini dikenal Pasar Triwindu. Sedangkan gaya
mediterania dijumpai pada model pilar yang berbentuk tabung dan jendela rumah
yang kotak-kotak. Interior rumah memilih model madura, yakni berupa meja kursi
tamu yang panjang dan sederhana serta mebeler lainnya. (Tri Rahayu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar